Catatan Ringan. Suatu kali di saat shalat Jum’at, begitu iqamah dilantunkan, maka semua jamaah berdiri bersiap untuk mendirikan shalat, dan semua mgatur posisi, merapikan, merapatkan dan mengisi shaf di depannya yang kosong. Setelah saya bergeser merapatkan shaf dan memberi tempat yang cukup untuk satu orang di samping saya, tetapi tak ada seorangpun dari shaf belakang saya yang maju untuk mengisinya, kemudian saya menoleh ke belakang, seakan mempersilakan salah satu untuk maju, tetapi tidak ada reaksi dari mereka yang di belakang, sepintas saya lihat di shaf belakang saya tersebut ternyata semua jamaahnya memakai sajadah sendiri, saya pikir itulah kira-kira yang menyusahkan jamaah untuk meninggalkan sajadah pribadinya yang sudah terhampar. Ohh.. terpaksa saya dan orang disamping saya menyesuaikan lagi posisi shalat kami yang sudah rapat.
Kata sajadah (pasahapan) berasal dari Bahasa Arab yang berarti alas yg digunakan untuk salat (bersujud), berupa karpet dsb berukuran kecil, kurang lebih 80 x 120 cm. Fungsi dari sajadah tentu saja yang utama adalah sebagai alas untuk shalat, walaupun bukan syarat sahnya shalat.
Setiap shalat Jum’at banyak jamaah shalat yang membawa sajadah, padahal masjid tempat kita Shalat Jum’at sudah menyediakan alas shalat yang juga empuk seperti karpet atau minimal sudah ada shaf (sajadah kain panjang berwarna putih). Lalu mengapa masih banyak yang membawa sajadah lagi. Banyak alasan bagi mereka yang selalu bawa sajadah pada Shalat Jum’at. Bagi yang berangkat jalan kaki bisa dijadikan penutup kepala (basalungkui) menghindari panas-teriknya matahari. Bagi yang naik sepeda motor, pada saat pulang bisa dijadikan pengurang panasnya jok sepeda motor yang parkir di bawah terik matahari. Atau bisa diselempangkan di bahu, bersama-sama dengan kopiah di kepala sebagai syarat (pembenaran sepihak) agar bebas tidak memakai helm di jalan raya. Entah apa lagi alasan yang lainnya yang sebenarnya sah-sah saja. Ternyata banyak juga fungsi dari sajadah ini.
Ada hal mengusik tentang sajadah yang sering kita alami di masjid terutama saat shalat Jum’at. Yang pertama, kita sering melihat orang pakai sajadah yang ukuran lebarnya lebih dari ukuran normal, sehingga agak menyusahkan jamaah disampingnya untuk merapatkan shaf. Yang kedua, seringkali setelah menggelar sajadah dan duduk/berdiri di sajadahnya orang tersebut malas (tidak mau lagi) berpindah untuk merapatkan shaf yang longgar disampingnya atau berpindah ke shaf depannya yang masih kosong. Yang ketiga, terkadang orang yang bawa sajadah membagi-pakai sajadahnya untuk orang disampingnya dengan cara meletakkan sajadah secara melintang, tetapi bagian sajadah yang biasanya diinjaknya dikasihkan pada orang, sehingga orang akan sujud tepat di bagian yang biasanya diinjaknya (untung batisnya kada batumbal), maka jadilah sajadah beracun. Untuk tiga contoh ini alangkah baiknya tidak terjadi pada saat shalat berjamaah. Mudah-mudahan bukan kita pelakunya, kalaupun kita pelakunya apalah susahnya kita perbaiki agar shalat berjamaah kita jadi lebih sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar