Catatan Ringan. Suatu kali saya membaca status teman di media sosial, kurang lebih bunyinya seperti ini: “Tahu betul kalo mie instan itu tidak sehat, tapi kalo perut lagi laper, dingin-dingin, siapa yang nolak?” Saya pun ngomentari, saya bilang bahwa anggapan tersebut salah, kalo sudah rezeki makan aja, kalo hati kita sudah menganggap itu racun maka racun jugalah efek yang diterima tubuh kita. Kenapa saya berani mengatakan itu? mungkin ada beberapa peristiwa sebelumnya yang membuat saya berkesimpulan seperti itu.
Yang pertama, mie instan itu makanan sebagian besar rakyat kita dari tingkat bawah sampai atas, efek negatifnya bagi kesehatan masyarakat sangat sedikit (hanya pengamatan saya), kalo memang berdampak negatif bagi konsumen, kenapa makin hari makin laku dan pemerintah tenang-tenang aja.
Yang kedua, pernah kita baca/dengar kalau perokok pasif lebih berisiko (sampai 3 kali lipat) terkena penyakit jantung dan kanker paru-paru dari pada perokok aktif. Ada yang menjelaskan bahwa racun rokok terbesar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang tak dihisap. Asap tersebut merupakan hasil dari pembakaran tembakau yang tidak sempurna. Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar, karena racun yang ia hisap lewat hidungnya tidak terfilter, sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang diisap.
Penjelasan yang sangat masuk akal, tetapi tentunya jumlah asap yang dihisap perokok aktif tentu jauh lebih banyak dari yang terhisap perokok pasif, saya yakin lebih dari 3 kali lipatnya, bahkan kedua macam asap tersebut juga terhisap ke pernapasan perokok aktif. Toh, lagi-lagi hasil pengamatan saya bahwa para perokok nampaknya lebih banyak yang sehat dari pada yang sakit.
Yang ketiga, saya punya sahabat yang terkena sakit stroke (semoga cepat mendapat kesembuhan), sempat 7 hari nginap di ruang ICCU sebuah rumah sakit. Seperti biasa setiap teman yang menjenguk sering memberi semangat dan nasehat agar selalu yakin sembuh dari penyakitnya. Beberapa hari setelah pulang ke rumah dan masih rawat jalan, ia pun cerita pada saya, bahwa ia cuma senyum-senyum aja ketika teman-teman banyak memberi semangat padanya, katanya kalau masalah semangat ia tidak perlu dikhawatirkan, orangnya memang selalu enerjik penuh semangat. Terus katanya ia sakit karena keinginannya sendiri, ia merasa dalam pekerjaan dan rumah tangga selalu bekerja melebihi tugasnya, tetapi orang lain seakan tidak mengerti dan menghargai jerih payahnya, sehingga ia pun berkata dalam hati, mungkin kurang lebihnya seperti ini: “Coba nanti kalo aku tidak ada, rasakan gimana repotnya, coba nanti aku sakit sekitar seminggu, baru kalian rasakan gimana pentingnya aku.” Keinginan tersebut ternyata terkabulkan, tepat seminggu di rumah sakit, tapi ia lantas bilang pada saya: “tapi sakitnya jangan seperti ini.”
Yang keempat, sebagai seorang muslim saya dan juga muslim lainnya pastilah selalu melaksanakan (mendirikan) shalat wajib dan sunat. Kita tahu bahwa dalam shalat terdapat do’a, lihatlah salah satunya pada saat duduk diantara dua sujud, do’anya seperti ini:
Ya Tuhanku, Ampunilah Aku, Sayangilah Aku, Cukupkanlah (Kekurangan)-Ku, Tinggikan (Derajat)-Ku, Berilah Aku Rezki, Berilah Aku Petunjuk, Berilah Aku Kesehatan Dan Maafkanlah (Kesalahan)-Ku.
Dari satu do’a itu saja sudah begitu luar biasanya permintaan kita pada Allah, kalau dikabulkan, apa lagi kurangnya hidup kita, subhanallah. Tapi kenapa kita masih banyak yang kekurangan, miskin dan sakit, padahal do’a tersebut kita lantunkan dalam setiap shalat, saat-saat yang paling baik dalam hidup kita.
Dari keempat peristiwa di atas, saya menarik sebuah benang merah, sebuah kesamaan, sebuah kesimpulan, yakni kita harus berdo’a dengan hati.
Pada kasus pertama, para penikmat mie instan sebagian besar mereka tidak menganggap mie tersebut makanan tidak sehat apalagi racun, sehingga terbesit sebuah do’a (keyakinan di hati) bahwa makanan ini akan membuatnya sehat, minimal kenyang.
Pada kasus kedua, para perokok aktif tentu sebagian besar mereka menganggap bahwa rokok itu bukan racun (bahkan dianggap sebagai sahabat saat sendiri, sebagai penghibur disaat suntuk, sebagai obat nyamuk saat mancing), sedangkan perokok pasif sudah pasti mereka menganggap asap rokok adalah racun. Hati (keyakinan) merekalah yang menjadikan asap tersebut menjadi obat atau racun. Terlepas dari apakah merokok itu sebuah perbuatan sia-sia dan mubajir.
Pada kasus ketiga, sahabat saya telah berdo’a dengan hatinya (keyakinan yang kuat dalam hati, walau tidak terucap dimulut) dan dikabulkan.
Pada kasus keempat, kita selalu melaksanakan shalat tetapi tidak dengan hati, sehingga bacaan shalat terucapkan begitu saja tidak dengan keyakinan hati, atau bahkan lupa apa arti dari bacaan shalat kita.
Mudah-mudahan ini adalah cara berdo’a yang makbul. Maka mulai sekarang marilah kita berdo’a dengan hati, dengan perbuatan dan dengan ucapan, semoga semua cita-cita kita terkabulkan.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman : Aku menurut dugaan hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya apabila ia ingat kepadaKu.” (HR. Tirmidzi)
“Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ini terdapat segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, maka baik pula seluruh anggota tubuhnya. Dan apabila segumpal darah itu buruk, maka buruk pula seluruh anggota tubuhnya. Segumpal darah yang aku maksudkan adalah hati (heart, bukan lever)” (H.R. Al-Bukhari).
Mulai sekarang jangan kita biasakan menuduh makanan sebagai penyebab penyakit, makanan adalah rezeki yang diberikan Allah kepada hambanya, bagaimana kalau Sang pemberi rezeki tersinggung dengan tuduhan makanan sebagai sumber penyakit, naudzubillahi mindzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar